Assalamu'alaykum.Wr.Wb
Aku melihat dan mendengar nyanyian merdu si anak penggembala sapi itu. Di sebuah tempat yang luas nan asri, jauh dari khalayak ramai. Dia hidup tanpa beban dan selalu total dalam bergerak, tidak seperti orang kantoran yang bebannya bertumpuk karena sejumlah deadline yang memacu adrenalin.
Dan tanpa sadar, aku melihat khayalan masa lalu yang penuh tantangan bertahap dengan tingkat resiko yang sangat tinggi.
Lebih dari itu, alunan bunyi seruling bambu ala kampung halaman mengingatkanku akan sebuah cerita gila namun luar biasa.
Semula, aku bertanya pada orang yang berada di sampingku, bapak2 berusia kepala tiga yang sudah menjadi "pemimpin" di sebuah tempat kecil dan sederhana yang berhasil menarik perhatian dan menjadi ajang nongkrok anak muda maupun orang tua yang diberi nama "Warung" itu.
"Pak, siapa anak itu yang bertopi petani, berseruling merdu yang duduk di atas kerbau ?"
"Sepertinya dia tidak sekolah" kataku dalam menggambarkan anak itu.
"Dia ya pak? Dia itu juara kelas di sekolah, dan dia kaya. Tapi dia menyukai kampung ini, maka dia rela mengubah dirinya karena ingin berteman dengan kampung ini"
Mendengar jawaban itu, aku menciutkan diri, sambil merenung dengan memegang dahi yang telah berkerut ini. Maklumlah, usiaku sudah dibilang tua namun masih fresh dalam bergerak dan memberikan ide yang kreatif dan inovatif dalam cerita.
Setelah menikmati suasana dengan segelas kopi cappucino susu hangat ditemani tempe goreng tergaring khas warung itu, aku membayar makanan tadi kepada pemilik warung itu dan kembali ke habitat semula, rumah.
Dalam perjalanan, aku teringat sebuah cerita. Namun, resikonya adalah aku dilanda rindu berkepanjangan. Karena ia tak hidup lagi di dunia ini sebagai makhluk nyata biasa. Tapi lebih dari itu, dia adalah orang berkontribusi dalam bergerak dan mengubah arus pemikiran sempit manusia menjadi orang yang peduli akan kesejahteraan. Dia profesor, dan dia pernah mendapat penghargaan Nobel.
No comments:
Post a Comment